Pernah nggak kalian berfikir berapa ya batas tampung planet bumi ini untuk manusia? Tentu bukan sekadar menampung untuk ditempati ya.., tapi mempertimbangkan keberlangsungan hidup yang mana erat kaitannya dengan ketersediaan sumber daya alam khususnya makanan.
Bila di
awal tahun 2022 ini saja kita sudah menyaksikan betapa lahan pertanian semakin
menyempit tergusur oleh permukiman dan pabrik-pabrik, bagaimana dengan keadaan
50 tahun bahkan 100 tahun lagi? Belum lagi ekosistem alam yang rusak karena
limbah-limbah produksi dan konsumi manusia yang semakin hari semakin rakus.
Tidak hanya dihadapkan pada kenyataan semakin terkikisnya sumberdaya alam, yang
justru menjadi momok menakutkan adalah apa yang disebut dengan eksponensial
pertumbuhan penduduk yakni berlipat gandanya jumlah penduduk dalam kurun
waktu tertentu.
Secara
ilmu statistik perlu ribuan tahun untuk melipat gandakan jumlah populasi,
semisal dari 100 juta menjadi 200 juta, Grafik pada gambar di atas menunjukkan fakta
mengerikan, bahwa waktu yang diperlukan untuk mendoblelkan jumlah populasi
semakin bertambah cepat. Hasil pembacaan grafik yang dikeluarkan oleh lembaga
riset PBB untuk Ekonomi dan Sosial tersebut adalah sebagai berikut:
Tahun 1927 jumlah penduduk bumi “yang tercatat” adalah 2 miliar manusia, pada tahun 1960 bertambah menjadi 3 miliar, kemudian bertambah menjadi 4 miliar pada tahun 1974, tahun 1987 menjadi 5 miliar, kemudian tahun 2011 menjadi 7 miliar, dan saat ini di tahun 2021 jumlah penduduk dunia hampir menyentuh angka 8 miliar tepatnya 7,8 miliar. Jadi apa yang disebut eksponensial pertumbuhan populasi benar-benar telah terjadi, dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun saja jumlah penduduk bumi bertambah dua kali lipat.
Masalah
Pangan
Masalah pertama
yang pasti akan muncul apabila jumlah manusia di bumi sampai meledak adalah
soal pangan. Para ilmuan sudah memperhitungkan hal ini, bahkan 200 tahun yang
lalu seorang ilmuan bernama Malthus sudah mewanti-wanti akan keterbatasan air
bersih dan makanan bagi populasi manusia di masa depan. Diandaikan bahwa
semisal seluruh lahan pertanian yang tersedia diperuntukkan untuk memenuhi
makan manusia saja bukan untuk pakan ternak, tetap saja ada ambang batasnya.
Menurut kalkulasi ilmuan hanya akan tersedia 1,4 miliar hektar lahan produktif yang bisa ditanami, bila lahan seluas itu menumbuhkan gandum maka akan mampu menghasilkan 2 miliar ton gandum per tahunnya dan hanya cukup dimakan sekitar 10 miliar manusia, itu bila semua manusia sepakat menjadi vegetarian, bila manusia memaksa ingin merasakan memakan daging konskuensinya sebagian gandum akan diperuntukkan untuk memberi makan ternak unggas, maka hanya akan mampu menghidupi 2,5 miliar manusia.
Ancaman Kiamat
Sosial
Sebut saja
manusia bisa mengatasi persoalan sumber daya pangan dengan kemajuan teknologi
yang berhasil dicapai di masa depan, entah dengan menciptakanb daging sintetis
berbasis sel, penemuan tumbuhan pangan baru yang bisa dipanen lebih cepat, atau
eksploitasi hewan dan tumbuhan laut
secara gila-gilaan, tetap saja akan muncul masalah lain yang lebih menyeramkan.
Sebuah eksperimen
kontroversial yang dikenal dengan “Universe 25” mengungkap ramalan kiamat
sosial bila jumlah populasi manusia mencapai jumlah tertentu. Universe 25 sempat
mengegerkan publik, dan sampai sekarang masih terus diperbincangkan khalayak. Percobaan
gila yang melibatkan ribuan tikus dan diulang sampai 25 kali selama 18 tahun
tersebut dilakukan oleh John Calhoun, ilmuan hewan asal Amerika Serikat.
Semesta 25
Eksperimen Universe
25 atau bisa kita sebut dengan Semesta 25 ini dimulai oleh John dengan membuat
sebuah kota tikus dengan ukuran kurang lebih 3x3 meter dengan ketinggian 1,5 –
2 meter, memiliki 256 kamar/ruang juga disediakan jerami sebagai bahan membuat
sarang. Kota mini ini didesain sedemikian rupa sehingga tikus yang menghuninya
akan sangat nyaman. Makanan dan minuman selalu disuplai dengan jumlah yang
tidak terbatas, suhu dalam ruangan dikondisikan setiap saat, bisa disebut
sebagai surga oleh tikus karena ancaman dari pemangsa juga tidak ada.
Setelah kandang
surga siap, empat pasang tikus jantan betina yang sehat dan steril dari kuman ditempatkan
dalamnya, tikus-tikus pun sangat menikmati hidup mereka yang tinggal makan
minum dan kawin, hingga setiap satu bulan jumlah tikus bertambah dua kali lipat
dan terjadilah pertumbuhan eksponensial atau ledakan jumlah populasi mencapai
620 ekor. Pada hari ke 315 atau hampir mendekati satu tahun pertumbuhan
populasi yang semula angkanya meningkat malah justru berbalik menunjukkan
grafik menurun, para tikus ini seperti menyadari bahwa dunia mereka ternyata
terbatas luasnya dan tidak mungkin bisa bertambah meskipun makanan dan minuman
tidak pernah kekurangan.
Ketika jumlah tikus masih di angka puluhan,
tampak ada beberapa tikus jantan dewasa yang berperilaku seperti pemimpin bagi
kelompoknya masing-masing, tiap kelompok menempati sisi gedung-gedung mini yang
berbeda, seperti memiliki wilayah kekuasaannya sendiri. Namun ketika jumlah
penghuni kota sudah melewati angka 500 tikus-tikus sudah mulai tampak merasa
jengah, mereka tidak mau diatur-atur oleh pemimpin kelompok, perilakunya dan
tempat tinggalnya semakin acak semau-mau mereka, seolah mereka tidak butuh lagi
sosok pemimpin, tatanan sosial mulai runtuh!
Aksi pembulian oleh tikus yang kuat
terhadap yang lemah sering terjadi, bekas-bekas cakaran juga gigitan terlihat
pada tubuh tikus-tikus yang jadi korban. Ingat sampai di sini suplai makan dan
minuman masih tersedia tanpa batas, kota tikus ini pun didesain mampu menampung
sampai 3.840 ekor.
Tidak berhenti pada aksi nakal pembulian,
pemerkosaan pun terjadi, tikus-tikus betina yang baru saja melahirkan dipakai
secara bergantian oleh tikus-tikus bejat. Melihat kengerian ini tikus-tikus
yang masih gadis dan cantik pun bersembunyi, hanya keluar sesekali dari sarangya
ketika lapar. Induk tikus yang semakin setres melihat kacaunya kota mini itu
melampiaskannya dengan menyiksa anak-anak mereka sendiri.
Karena tidak dikenal kata lapar di kota
tikus ini, para tikus hanya butuh melampiskan hasrat seksualnya, mereka menjadi
hiper seks, memaksa yang betina untuk diajak making love walau tampak sekali si
betina tidak sedang ingin kawin, terlihat dari betina-betina yang berlarian
dari kejaran jantan.
Karena hasrat seks ke lawan jenis tidak
tersalurkan, akhirnya terjadi fenomena LGBT! Tikus-tikus jantan yang ngonde dan
terlihat cantik layaknya betina mulai muncul, hubungan sesama jenis terlihat
menjadi wajar, yang lebih mengerikan muncul kelompok kanibalisme yang dengan
lahap menyantap bangkai kawannya yang telah mati, bahkan juga mencicipi
bayi-bayi sesama tikus yang baru lahir.
Pada hari ke-560 jumlah populasi di kota
tikus ini menjadi 2200 ekor, dan kiamat sosial benar-benar mencapai puncaknya. Aksi
saling bunuh dan praktik LGBT yang sudah menjadi budaya berdampak pada
penurunan jumlah populasi yang signifikan. Meskipun kepadatan penduduk sudah mulai
berkurang dan kembali seperti semula namun moral tikus-tikus ini sudah
terlanjur rusak, tetap saja tidak ada pemimpin yang hadir di kelompok-kelompok
kecil, tingkah laku mereka tetap individualistik dan egois. Jhon Calhoun
menyebut keadaan chaos ini dengan “The Behavioral Sink” atau keberlimpahan
Sumberdaya yang menjadi petaka.
Setelah percobaan berjalan selama dua tahun
perlahan kota tikus yang semula ramai menjelma menjadi kota mati sepi penduduk,
surga telah berubah menjadi neraka. Tikus yang terakhir pun lahir sekaligus
menandai berakhirnya eksperimen ini setelah tikus itu mati. Percobaan yang sama
persis diulang sebanyak 25 kali yang menjadi sebab eksperimen ini dinamai
Universe 25, yang mencengangkan hasilnya selalu sama!
Percobaan gila oleh ilmuan untuk meneliti
perilaku hewan di atas tentu memantik banyak kritik, dari anggapannya menyamakan
manusia dengan tikus, sampai sok menjadi tuhan dengan menciptakan surga bagi tikus.
Manusia tentu berbeda dengan tikus, namun
satu-satunya yang menbedakan adalah “nalarnya”. Tanpa nalar atau pikiran
manusia persis dengan hewan yang memiliki nafsu, naluri, dan potensi membuat
kerusakan.
Lalu apakah bumi ini juga punya batas maksimal jumlah populasi agar tidak terjadi kekacauan atau kiamat sosial seperti eksperimen Universe 25 di atas? Mari kita renungkan bersama!
Penulis : Saiful Muhlis,
disarikan dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar