Berapa Yaa ?

All About Question

Jumat, 04 Februari 2022

Berapa jumlah maksimal penduduk bumi agar tidak kiamat?

 

Pernah nggak kalian berfikir berapa ya batas tampung planet bumi ini untuk manusia? Tentu bukan sekadar menampung untuk ditempati ya.., tapi mempertimbangkan keberlangsungan hidup yang mana erat kaitannya dengan ketersediaan sumber daya alam khususnya makanan.

Bila di awal tahun 2022 ini saja kita sudah menyaksikan betapa lahan pertanian semakin menyempit tergusur oleh permukiman dan pabrik-pabrik, bagaimana dengan keadaan 50 tahun bahkan 100 tahun lagi? Belum lagi ekosistem alam yang rusak karena limbah-limbah produksi dan konsumi manusia yang semakin hari semakin rakus. Tidak hanya dihadapkan pada kenyataan semakin terkikisnya sumberdaya alam, yang justru menjadi momok menakutkan adalah apa yang disebut dengan eksponensial pertumbuhan penduduk yakni berlipat gandanya jumlah penduduk dalam kurun waktu tertentu.

 

Secara ilmu statistik perlu ribuan tahun untuk melipat gandakan jumlah populasi, semisal dari 100 juta menjadi 200 juta, Grafik pada gambar di atas menunjukkan fakta mengerikan, bahwa waktu yang diperlukan untuk mendoblelkan jumlah populasi semakin bertambah cepat. Hasil pembacaan grafik yang dikeluarkan oleh lembaga riset PBB untuk Ekonomi dan Sosial tersebut adalah sebagai berikut:

Tahun 1927 jumlah penduduk bumi “yang tercatat” adalah 2 miliar manusia, pada tahun 1960 bertambah menjadi 3 miliar, kemudian bertambah menjadi 4 miliar pada tahun 1974, tahun 1987 menjadi 5 miliar, kemudian tahun 2011 menjadi 7 miliar, dan saat ini di tahun 2021 jumlah penduduk dunia hampir menyentuh angka 8 miliar tepatnya 7,8 miliar. Jadi apa yang disebut eksponensial pertumbuhan populasi benar-benar telah terjadi, dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun saja jumlah penduduk bumi bertambah dua kali lipat.

Masalah Pangan

Masalah pertama yang pasti akan muncul apabila jumlah manusia di bumi sampai meledak adalah soal pangan. Para ilmuan sudah memperhitungkan hal ini, bahkan 200 tahun yang lalu seorang ilmuan bernama Malthus sudah mewanti-wanti akan keterbatasan air bersih dan makanan bagi populasi manusia di masa depan. Diandaikan bahwa semisal seluruh lahan pertanian yang tersedia diperuntukkan untuk memenuhi makan manusia saja bukan untuk pakan ternak, tetap saja ada ambang batasnya.

Menurut kalkulasi ilmuan hanya akan tersedia 1,4 miliar hektar lahan produktif yang bisa ditanami, bila lahan seluas itu menumbuhkan gandum maka akan mampu menghasilkan 2 miliar ton gandum per tahunnya dan hanya cukup dimakan sekitar 10 miliar manusia, itu bila semua manusia sepakat menjadi vegetarian, bila manusia memaksa ingin merasakan memakan daging konskuensinya sebagian gandum akan diperuntukkan untuk memberi makan ternak unggas, maka hanya akan mampu menghidupi 2,5 miliar manusia.

Ancaman Kiamat Sosial

Sebut saja manusia bisa mengatasi persoalan sumber daya pangan dengan kemajuan teknologi yang berhasil dicapai di masa depan, entah dengan menciptakanb daging sintetis berbasis sel, penemuan tumbuhan pangan baru yang bisa dipanen lebih cepat, atau eksploitasi hewan dan tumbuhan  laut secara gila-gilaan, tetap saja akan muncul masalah lain yang lebih menyeramkan.

Sebuah eksperimen kontroversial yang dikenal dengan “Universe 25” mengungkap ramalan kiamat sosial bila jumlah populasi manusia mencapai jumlah tertentu. Universe 25 sempat mengegerkan publik, dan sampai sekarang masih terus diperbincangkan khalayak. Percobaan gila yang melibatkan ribuan tikus dan diulang sampai 25 kali selama 18 tahun tersebut dilakukan oleh John Calhoun, ilmuan hewan asal Amerika Serikat.

Semesta 25

Eksperimen Universe 25 atau bisa kita sebut dengan Semesta 25 ini dimulai oleh John dengan membuat sebuah kota tikus dengan ukuran kurang lebih 3x3 meter dengan ketinggian 1,5 – 2 meter, memiliki 256 kamar/ruang juga disediakan jerami sebagai bahan membuat sarang. Kota mini ini didesain sedemikian rupa sehingga tikus yang menghuninya akan sangat nyaman. Makanan dan minuman selalu disuplai dengan jumlah yang tidak terbatas, suhu dalam ruangan dikondisikan setiap saat, bisa disebut sebagai surga oleh tikus karena ancaman dari pemangsa juga tidak ada.


Setelah kandang surga siap, empat pasang tikus jantan betina yang sehat dan steril dari kuman ditempatkan dalamnya, tikus-tikus pun sangat menikmati hidup mereka yang tinggal makan minum dan kawin, hingga setiap satu bulan jumlah tikus bertambah dua kali lipat dan terjadilah pertumbuhan eksponensial atau ledakan jumlah populasi mencapai 620 ekor. Pada hari ke 315 atau hampir mendekati satu tahun pertumbuhan populasi yang semula angkanya meningkat malah justru berbalik menunjukkan grafik menurun, para tikus ini seperti menyadari bahwa dunia mereka ternyata terbatas luasnya dan tidak mungkin bisa bertambah meskipun makanan dan minuman tidak pernah kekurangan.

 Perilaku Aneh Tikus

Ketika jumlah tikus masih di angka puluhan, tampak ada beberapa tikus jantan dewasa yang berperilaku seperti pemimpin bagi kelompoknya masing-masing, tiap kelompok menempati sisi gedung-gedung mini yang berbeda, seperti memiliki wilayah kekuasaannya sendiri. Namun ketika jumlah penghuni kota sudah melewati angka 500 tikus-tikus sudah mulai tampak merasa jengah, mereka tidak mau diatur-atur oleh pemimpin kelompok, perilakunya dan tempat tinggalnya semakin acak semau-mau mereka, seolah mereka tidak butuh lagi sosok pemimpin, tatanan sosial mulai runtuh!

Aksi pembulian oleh tikus yang kuat terhadap yang lemah sering terjadi, bekas-bekas cakaran juga gigitan terlihat pada tubuh tikus-tikus yang jadi korban. Ingat sampai di sini suplai makan dan minuman masih tersedia tanpa batas, kota tikus ini pun didesain mampu menampung sampai 3.840 ekor.


Tidak berhenti pada aksi nakal pembulian, pemerkosaan pun terjadi, tikus-tikus betina yang baru saja melahirkan dipakai secara bergantian oleh tikus-tikus bejat. Melihat kengerian ini tikus-tikus yang masih gadis dan cantik pun bersembunyi, hanya keluar sesekali dari sarangya ketika lapar. Induk tikus yang semakin setres melihat kacaunya kota mini itu melampiaskannya dengan menyiksa anak-anak mereka sendiri.

Karena tidak dikenal kata lapar di kota tikus ini, para tikus hanya butuh melampiskan hasrat seksualnya, mereka menjadi hiper seks, memaksa yang betina untuk diajak making love walau tampak sekali si betina tidak sedang ingin kawin, terlihat dari betina-betina yang berlarian dari kejaran jantan.

Karena hasrat seks ke lawan jenis tidak tersalurkan, akhirnya terjadi fenomena LGBT! Tikus-tikus jantan yang ngonde dan terlihat cantik layaknya betina mulai muncul, hubungan sesama jenis terlihat menjadi wajar, yang lebih mengerikan muncul kelompok kanibalisme yang dengan lahap menyantap bangkai kawannya yang telah mati, bahkan juga mencicipi bayi-bayi sesama tikus yang baru lahir.

Pada hari ke-560 jumlah populasi di kota tikus ini menjadi 2200 ekor, dan kiamat sosial benar-benar mencapai puncaknya. Aksi saling bunuh dan praktik LGBT yang sudah menjadi budaya berdampak pada penurunan jumlah populasi yang signifikan. Meskipun kepadatan penduduk sudah mulai berkurang dan kembali seperti semula namun moral tikus-tikus ini sudah terlanjur rusak, tetap saja tidak ada pemimpin yang hadir di kelompok-kelompok kecil, tingkah laku mereka tetap individualistik dan egois. Jhon Calhoun menyebut keadaan chaos ini dengan “The Behavioral Sink” atau keberlimpahan Sumberdaya yang menjadi petaka.

Setelah percobaan berjalan selama dua tahun perlahan kota tikus yang semula ramai menjelma menjadi kota mati sepi penduduk, surga telah berubah menjadi neraka. Tikus yang terakhir pun lahir sekaligus menandai berakhirnya eksperimen ini setelah tikus itu mati. Percobaan yang sama persis diulang sebanyak 25 kali yang menjadi sebab eksperimen ini dinamai Universe 25, yang mencengangkan hasilnya selalu sama!

 Apakah Manusia Sama dengan Tikus?

Percobaan gila oleh ilmuan untuk meneliti perilaku hewan di atas tentu memantik banyak kritik, dari anggapannya menyamakan manusia dengan tikus, sampai sok menjadi tuhan dengan menciptakan surga bagi tikus.

Manusia tentu berbeda dengan tikus, namun satu-satunya yang menbedakan adalah “nalarnya”. Tanpa nalar atau pikiran manusia persis dengan hewan yang memiliki nafsu, naluri, dan potensi membuat kerusakan.

Lalu apakah bumi ini juga punya batas maksimal jumlah populasi agar tidak terjadi kekacauan atau kiamat sosial seperti eksperimen Universe 25 di atas? Mari kita renungkan bersama!


Penulis : Saiful Muhlis, 

disarikan dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar